I.
PENDAHULUAN
Negara Indonesia adalah negara agraria yang mayoritas lahannya adalah
daerah pertanian dan perkebunan, namun selama ini ketersediaan beras yang
menjadi makanan pokok penduduknya masih menjadi permasalahan. Sistem budi daya
pertanian di Indonesia dalam kurun waktu yang panjang mengalami penurunan dalam
hal produktivitas, kualitas, dan efisiensi. Penurunan terjadi mulai dari luas
lahan garapan yang kian susut akibat terdesak oleh kegiatan industrialisasi dan
perumahan. Produktivitas semakin menukik tajam karena banyak lahan yangg hilang
kesuburannya akibat penggunaan pupuk kimia yang tidak bijaksana.
Pemakaian pestisida dan pupuk kimia yang cenderung berlebihan dan tidak terkontrol
pasti mengakibatkan keseimbangan alam terganggu, musuh alami hama menjadi
punah, sehingga hama dan penyakit tanaman berkembang pesat, dan adanya residu
kimia pada hasil panen. Penghematan penggunaan pupuk dan pestisida kimia mutlak
harus dilakukan.
Selain itu, krisis lingkungan karena pencemaran perlu disikapi mengingat
dampak negatif yang tidak sedikit bagi manusia dan lingkungan. Hal lain yang
perlu dipertimbangkan adalah harga pupuk dan antihama yang mahal, terkadang
langka di pasaran serta faktor kolutif lain. Di antaranya mekanisme pasar yang
cenderung memperkaya segelintir orang dan faktor politis yang tidak memihak
petani.
Dari aspek pengelolaan air, usaha tani sawah pada umumnya dilakukan
dengan penggenangan secara terus-menerus, di lain pihak kesediaan air semakin
terbatas. Untuk itu, diperlukan peningkatan efisiensi penggunaan air melalui
usaha tani hemat air.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
Pemerintah Indonesia melalui Departemen Pertanian melakukan berbagai
cara untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri. Salah satu teknologi yang
sangat potensial untuk meningkatkan produksi beras nasional adalah Budidaya
Padi System of Rice Intensification (S.R.I). Budidaya Padi S.R.I. telah
diadopsi oleh banyak petani di beberapa negara.
Metode SRI adalah metode yang sangat tepat guna bagi dunia pertanian
padi. SRI ini pada dasarnya adalah cara budidaya padi yang intensif dan
efisien dengan proses menejemen sistem perakaran yang berbasis pada pengelolaan
air, tanah dan tanaman. Pada dasarnya SRI ini menyeimbangkan antara kebutuhan
tanaman dengan ketersediaan nutrisi yang cukup dan kondisi lingkungan yang
tepat. Metode SRI pertama kali
ditemukan secara tidak disengaja di Madagaskar antara tahun 1983 - 1984 oleh Fr.
Henri de Laulanie, SJ, seorang Pastor Jesuit asal Perancis yang
lebih dari 30 tahun hidup bersama para petani di sana. Oleh penemunya,
metododologi ini selanjutnya dalam bahasa Perancis disebut Ie Systme de
Riziculture Intensive disingkat SRI. Dalam bahasa Inggris populer
dengan nama System of Rice Intensification disingkat SRI.
Tahun
1990 dibentuk Association Tefy Saina (ATS), sebuah LSM
Malagasy untuk memperkenalkan SRI. Empat tahun kemudian, Cornell
International Institution for Food, Agriculture and
Development (CIIFAD), bekerja sama dengan Tefy Saina untuk
memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafana National Park di Madagaskar Timur,
didukung oleh US Agency for International Development. SRI telah
diuji di Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri Langka dan Bangladesh dengan
hasil yang positif.
SRI
menjadi terkenal di dunia melalui upaya dari Norman Uphoff (Director
CIIFAD). Pada tahun 1987, Uphoff mengenalkan metode SRI di
Indonesia yang merupakan kesempatan pertama SRI dilaksanakan di luar
Madagaskar. Hasil metode SRI di Madagaskar, pada beberapa tanah tak subur yang
produksi normalnya 2 ton/ha, petani yang menggunakan SRI memperoleh hasil panen
lebih dari 8 ton/ha, bahkan ada juga yang memperoleh 10 – 15 ton/ha.
SRI minimal menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan dengan
metode yang biasa dipakai petani. Hanya saja diperlukan pikiran yang
terbuka untuk menerima metode baru dan kemauan untuk bereksperimen. Dalam
SRI tanaman diperlakukan sebagai organism hidup sebagaimana mestinya, bukan
diperlukan seperti mesin yang dapat dimanipulasi. Semua unsure potensi
dalam tanaman padi dikembangkan dengan cara memberikan kondisi yang sesuai
dengan pertumbuhannya.
Keuntungan lain dari penerapan Budidaya Padi S.R.I adalah mengurangi
emisi CH4 karena sawah tidak digenangi. Hal ini merupakan keuntungan lain dari
penerapan Budidaya Padi S.R.I. secara luas. Pemerintah Indonesia sudah
menyatakan komitmennya untuk berpertisipasi aktif mengurangi emisi gas rumah
kaca. Melalui penerapan Budidaya Padi S.R.I. secara luas, emisi metan dari
sawah juga akan berkurang secara nyata sehingga secara nasional, Pemerintah
Indonesia dapat menunjukkan berpartisipasi aktif dalam menurunkan emisi CH4.
1.
Tanam bibit muda berusia kurang dari 12 hari setelah semai
(hss) ketika bibit masih berdaun 2 helai.
2.
Tanam bibit satu lubang satu bibit dengan jarak tanam lebar
30x30 em, 35x35 em 9tau lebih jarang lagi.
3.
Pindah tanam harus segera mungkin (kurang 30 menit) dan harus
hati-hati agar akar tidak putus dan ditanam dangkal.Pemberian air maksimum 2 cm
(macak-macak) dan periode tertentu dikeringkan sampai peeah (irigasi berselang
terputus).
4.
Penyiangan sejak awal sekitar umur 10 hari dan diulang 2 - 3
kali dengan interval 10 hari. Sedapat mungkin menggunakan pupuk organik dan
pestisida organik.
1.
Tanaman hemat air, selama pertumbuhan dari mulai tanam sampai
panen pemberian air maksimum 2 cm paling baik maeak-maeak sekitar 5 mm dan ada
periode pengeringan sampai tanah retak (irigasi terputus).
2.
Hemat biaya, hanya butuh benih 5 kglha, tidak butuh biaya
peneabutan bibit, tidak butuh biaya pindah bibit, tenaga tanam berkurang, dan
lain-lain.
3.
Hemat waktu ditanam bibit muda 5 - 12 hari setelah semai, dan
waktu panen akan lebih awal.
4.
Produksi meningkat di beberapa tempat meneapai 11 ton/ha.
5.
Ramah lingkungan, seeara bertahap penggunaan pupuk kimia
(urea, Sp36, KCI) akan dikurangi dan digantikan dengan mempergunakan pupuk
organik (kompos, kandang dan MOL), begitu juga penggunaan pestisida.
Mengingat berbagai keunggulan SRI ini, maka sangat cocok diterapkan saat
ini, mengingat harga pupuk kimia semakin mahal, dan kesuburan tanah
semakin menurun. Sehingga dengan metode SRI akan mengembalikan kesuburan tanah
dengan pemupukan dan pestisida organik. SRI ini juga sangat cocok untuk
diterapkan di daerah yang ketersediaan airnya sedikit, karena sebenarnya memang
tanaman padi bukanlah tanaman air, tetapi membutuhkan air.
III.
TEKNIK BUDIDAYA
SRI atau System of Rice Intensification tertumpu pada 4 hal pokok yaitu
:
1.
Menanam bibit muda (5 – 15 hari setelah semai)
2.
Menanam 1 bibit pertitik tanam
3.
Mengatur jarak tanam lebih lebar (30 x 30 cm sampai 50 x 50
cm ; di Indonesia, jarak tanam ideal untuk SRI adalah 35 x 35 cm atau 35 x 35
cm)
4.
Manajemen pengairan yang super hemat dengan cara intermitten
(terputus ; berselang seling antara pemberian air maksimal 2 cm dan pengeringan
tanah sampai retak).
Selain keempat hal tersebut, sangat dianjurkan untuk menggunakan pupuk
organik. Pupuk organik selain menyediakan unsur hara yang lengkap (makro dan
mikro) juga memperbaiki struktur tanah sehingga meningkatkan ketersediaan hara
bagi tanaman, udara yang cukup bagi perakaran, dan meningkatkan daya ikat air
tanah.
Di bawah ini adalah prinsip-prinsip budidaya:
a.
Pengolahan Tanah
Pengolahan
tanah untuk Tanaman Padi metode SRI tidak berbeda dengan cara pengolahan tanah
untuk tanam padi secara konvesional yaitu dilakukan untuk mendapatkan struktur tanah
yang lebih baik bagi tanaman, terhindar dari gulma. Pengolahan dilakukan
dua minggu sebelum tanam dengan menggunakan traktor tangan, sampai terbentuk
struktur lumpur. Permukaan tanah diratakan untuk mempermudah mengontrol
dan mengendalikan air.
Pengolahan tanah
dilakukan sesuai anjuran pada sistem konvensional. Sangat dianjurkan untuk
memberikan pupuk kandang / kompos / pupuk hijau saat pembajakan tanah. Di
sekeliling petakan dibuat parit sedalam 30 – 50cm untuk membantu saat periode
pengeringan.
b.
Pembibitan
Pembibitan dalam
SRI sangat dianjurkan dilakukan dalam kontainer platik, kayu, anyaman bambu
yang dilapisi daun pisang, atau apa saja yang dapat digunakan. Hal ini untuk
mempermudah saat pindah tanam. Media tanah untuk pembibitan sebaiknya mengandung
kompos atau pupuk organik yang baik dengan ketebalan 4-5 cm. Benih diberi
perlakuaan khusus agar didapatkan benih yang paling baik.
Ini merupakan
awal dari rangkaian
kegiatan membuat persemaian.
Petama-tama kita siapkan benih
yang akan dipakai.
Kebutuhan benih untuk
tanaman padi model
SRI adalah 5-7 kg per hektar lahan. Kemudian benih tadi harus diseleksi
sebelum disemai. Untuk itu kita bisa menggunakan metode “Larutan Garam”.
Prosesnya adalah sebagai berikut:
a.
Masukkan air ke dalam wadah atau toples.
b.
Selanjutnya
masukkan telur ayam
ke dalam wadah
atau toples berisi
air tadi.
c.
Telur ayam akan
berfungsi sebagai penanda
ketika larutan garam
sudah siap untuk digunakan.
d.
Kemudian
masukkan garam dapur
perlahan-lahan ke dalam
air sambil diaduk hingga garam larut. Penambahan garam
dihentikan ketika telur sudah naik ke permukaan air.
e.
Langkah
berikutnya adalah memasukkan
benih yang akan
ditanam ke
dalam larutan garam..
f.
Benih yang mengapung
adalah benih yang
kurang baik kualitasnya. Benih
ini bisa diambil dan
disisihkan. Benih yang
tenggelam adalah benih
yang baik. Benih-benih ini
kemudian diambil dan
dicuci untuk selanjutnya disemai. Pencucian dimaksudkan
untuk menghilangkan larutan
garam yang menempel pada benih.
Metode “Larutan
Garam” hanyalah salah satu cara untuk menyeleksi benih. Cara yang lain juga
biasa gunakan dalam memilih benih yang baik untuk disemaikan.
Setelah benih
berkualitas baik siap,
benih harus diperam
dulu selama satu
hari satu malam, tidak boleh
lebih. Ini dilakukan agar benih tumbuh seragam. Setelah diperam, akan terlihat
adanya bintik pada
lembaga atau embrio
benih (tetapi belum
tumbuh akar). Ini adalah tanda benih yang baik dan siap disemai.
c.
Membuat Persemaian
Persemaian
untuk SRI dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu
persemaian kering dan persemaian
basah. Persemaian basah
adalah persemaian yang
langsung dilakukan di lahan pertanian, seperti pada sistem
konvensional. Sementara persemaian kering yaitu persemaian yang
menggunakan wadah berupa kotak/besek/wonca/pipiti. Penggunaan wadah ini
dimaksudkan untuk memudahkan
pengangkutan dan penyeleksian benih. Untuk lahan seluas satu hektar
dibutuhkan wadah persemaian ukuran 20 cm x 20 cm, sebanyak 400—500
buah.
Kotak/besek/wonca/pipiti bisa juga diganti
dengan wadah lain seperti
pelepah pisang atau belahan buluh bambu. Benih ditabur Benih dalam Umur benih 7 hari Benih muda siap di atas besek persemaian tebar .
Tahapan membuat persemaian
adalah sebagai berikut:
1.
Siapkan media persemaian dengan
cara mencampur tanah
dengan pupuk organik/pupuk
kandang/ bokhasi dengan perbandingan 1:1.
2.
Sebelum wadah diisi dengan media, lapisi dulu bagian dalamnya
dengan daun pisang yang sudah dilemaskan dengan cara dijemur atau dipanaskan di
atas api.
3.
Masukkan media ke
dalam wadah hingga
3/4 penuh. Selanjutnya
media ini disiram dengan air supaya
lembab.
4.
Tebarkan benih ke dalam wadah. Jumlah benih per wadah antara
300—350 biji.
5.
Taburkan arang sekam di atas benih sampai rata
melapisi/menutupi benih.
6.
Selanjutnya simpan wadah-wadah ini di tempat yang teduh. Pada
hari pertama dan hari kedua, sebaiknya wadah-wadah ini ditutupi agar tidak
kepanasan.
7.
Jika disimpan di pekarangan, jangan lupa untuk meletakkan
wadah-wadah ini di tempat yang aman dari gangguan ternak seperti ayam.
8.
Penyiraman
bisa dilakukan setiap
hari agar media
tetap lembab dan
bibit tanaman tetap segar.
d.
Pindah Tanam
Sebelum pindah
tanam sebaiknya lahan telah betul-betul rata dan kemudia dibuat garis tanam
dengan menggunakan caplak agar pertanaman teratur dengan jarak tanam seragam.
Jarak tanam yang dianjurkan adalah 30 x 30 cm, 35 x 35 cm, atau pada tanah yang
subur dapat diperjarang sampai 50 x 50 cm.
Bibit dapat
dipindahtanamkan pada umur 5 – 15 hari setelah semai (berdaun 2) dengan jumlah
1 bibit perlubang. Pembenaman bibit sekitar 1 – 1,5 cm dengan posisi akar
membentuk huruf L. Caranya adalah dengan membenamkan bibit pada jarak sekitar
10 cm di belakang titik tanam, kemudian digeser menuju titik tanam, sehingga
posisi akar seperti huruf L.
e.
Penanaman
Bibit siap
dipindahkan ke lahan
setelah mencapai umur
7—10 hari setelah
semai. Kondisi air pada
saat tanam adalah
“macak-macak” (Jawa-Red.). Arti
dari “macak- macak” adalah
kondisi tanah yang basah tetapi bukan tergenang.
Pada metode
SRI digunakan sistem
tanam tunggal. Artinya, satu
lubang tanam diisi satu
bibit padi. Selain
itu, bibit ditanam
dangkal, yaitu pada
kedalaman 2-3 cm dengan bentuk perakaran horizontal
(seperti huruf L).
Alasan menggunakan satu benih
untuk satu lubang adalah Dasar
pemikirannya adalah, jika beberapa benih ditanam bersamaan dalam satu
lubang maka akan muncul persaingan antar tanaman dalam memperebutkan nutrisi,
oksigen, dan sinar matahari. Karena
itu, dengan sistem
penanaman tunggal diharapkan
bahwa tiap
tanaman bisa menyerap nutrisi,
oksigen, dan sinar matahari secara lebih optimal.
Jarak tanam yang
digunakan dalam metode SRI adalah jarak tanam lebar, misalnya 25 cm x 25 cm
atau 30 cm x 30 cm. Semakin lebar jarak tanam, semakin meningkat jumlah anakan
produktif yang dihasilkan oleh tanaman padi. Penyebabnya, sinar matahari bisa
mengenai seluruh bagian tanaman dengan lebih baik sehingga proses fotosintesis
dan pertumbuhan tanaman terjadi dengan lebih optimal. Jarak tanam yang lebar
ini juga memungkinkan tanaman untuk
menyerap nutrisi, oksigen
dan sinar matahari
secara maksimal.
f.
Pemupukan.
Pemupukan dilakukan
sesuai anjuran setempat, baik dosis maupun teknis pemberian. Hal ini disebabkan
karakteristik kesuburan tanah yang berbeda-beda di setiap lokasi. Apabila
menggunakan pupuk kandang, dosis pupuk kimia dapat dikurangi.
Pemberian pupuk pada SRI diarahkan kepada
perbaikan kesehatan tanah dan penambahan unsur hara yang berkurang
setelah dilakukan pemanenan. Kebutuhan pupuk organik pertama
setelah menggunakan system konvensional adalah 10 ton per hektar dan dapat
diberikan sampai 2 musim tanam. Setelah kelihatan kondisi tanah membaik
maka pupuk organik bisa berkurang disesuaikan dengan kebutuhan.
Pemberian pupuk organic dilakukan pada tahap pengolahan tanah kedua agar
pupuk bisa menyatu dengan tanah.
g.
Penyiangan/Pengendalian Gulma.
Pengendalian gulma
sebaiknya dilakukan sebanyak sekurangnya 3 kali selama masa tanam sesuai dengan
kondisi di lapangan. Pengendalian gulma yang baik sebaiknya menggunakan alat
weeder (lalandak) yang lebarnya disesuaikan dengan jarak tanam. Gulma yang
tercabut dapat dibenamkan atau disisihkan (dalam hal ini bila dominansi jenis
gulma yang berumbi seperti teki).
Sistem
tanam metode SRI tidak membutuhkan genangan air yang terus-menerus, cukup
dengan kondisi tanah yang basah. Penggenangan dilakukan hanya untuk
mempermudah pemeliharaan. Pada prakteknya pengelolaan air pada system
padi organik dapat dilakukan sebagai berikut : pada umur 1-10 HST tanaman
padi digenangi dengan ketinggian air rata-rata 1 cm, kemudian pada umur 10 hari
dilakukan penyiangan. Setelah dilakukan penyiangan tanaman tidak
digenangi. Untuk perlakuan yang masih membutuhkan penyiangan berikutnya,
maka dua hari menjelang penyiangan tanaman digenang. Pada saat tanaman
berbunga, tanaman digenang dan setelah padi matang susu tanaman tidak digenangi
kembali sampai panen.
Untuk
mencegah hama dan penyakit pada SRI tidak digunakan bahan kimia, tetapi
dilakukan pencegahan dan apabila terjadi gangguan hama/penyakit digunakan
pestisida nabati dan atau digunakan secara fisik dan mekanik.
h.
Pengairan
Pengairan atau
pemberian air dilakukan secara intermitten atau terputus-putus. Pada awal
penanaman, pemberian air dilakukan sampai kondisi minimal macak-macak atau
maksimal sekitar 2 cm. Kemudian dibiarkan mengering sampai kondisi tanah mulai
terbelah-belah dan mulai lagi dengan pemberian air maksimal, begitu seterusnya.
Kondisi tanah yang kering terbelah memberikan kesempatan oksigen lebih banyak
masuk dalam pori-pori tanah sehingga akan memperbaiki proses respirasi
(pernapasan) perakaran. Kondisi ini tentu akan meningkatkan pertumbuhan
perakaran dan perkembangan anakan. Seperti juga pada sistem konvensional,
pemberian air dihentikan saat periode pemasakan bulir padi.
Padi ditanam pada
kondisi tanah yang tidak tergenang. Tujuannya, agar oksigen yang dapat
dimanfaatkan oleh akar tersedia lebih
banyak di dalam
tanah. Selain itu,
dalam kondisi tidak
tergenang, akar bisa tumbuh
lebih subur dan
besar sehingga tanaman
dapat menyerap nutrisi
sebanyak- banyaknya.
Proses pengelolaan
air dan penyiangan dalam metode SRI dilakukan sebagai berikut:
1.
Ketika padi mencapai umur 1-8 hari sesudah tanam (HST),
keadaan air di lahan adalah “macak-macak”.
2.
Sesudah padi
mencapai umur 9-10
HST air kembali
digenangkan dengan
ketinggian 2-3 cm
selama 1 malam
saja. Ini dilakukan
untuk memudahkan penyiangan
tahap pertama
3.
Setelah selesai disiangi, sawah kembali dikeringkan sampai
padi mencapai umur 18 HST.
4.
Pada umur 19-20
HST sawah kembali
digenangi untuk memudahkan penyiangan tahap kedua.
5.
Selanjutnya setelah padi berbunga, sawah diairi kembali
setinggi 1-2 cm dan kondisi ini dipertahankan sampai
padi “masak susu”
(± 15-20 hari
sebelum panen).
6.
Kemudian sawah kembali dikeringkan sampai saat panen tiba.
i.
Pengendalian Hama dan Penyakit.
Dalam metode SRI,
pengendalian hama dilakukan dengan sistim PHT. Dengan system ini, petani diajak
untuk bisa mengelola unsur-unsur dalam agroekosistem (seperti matahari,
tanaman, mikroorganisme, air, oksigen, dan musuh alami) sebagai alat pengendali
hama dan penyakit tanaman. Cara yang dilakukan petani misalnya dengan
menempatkan bilah-bilah _isban/ajir di petakan sawah sebagai “terminal” capung
atau burung kapinis Selain itu petani juga menggunakan pestisida berupa ramuan
yang diolah dari bahan-bahan alami untuk menghalau hama.
Untuk pengendalian
gulma, metode SRI mengandalkan tenaga manusia dan sama sekali tidak memakai
herbisida. Biasanya digunakan alat bantu yang disebut “susruk”. .Ini adalah
semacam garu yang berfungsi sebagai alat pencabut gulma. Dengan alat ini, gulma
yang sudah tercabut sekaligus akan dibenamkan ke dalam tanah untuk menambah
bahan didalam tanah. Perlu diingat, bahwa dalam aplikasi metode SRI, gulma yang
tumbuh akan banyak karena sawah tidak selalu ada dalam kondisi tergenang air.
j.
Panen
Panen dilakukan
setelah tanaman menua dengan ditandai dengan menguningnya semua bulir secara
merata. Bila bulir digigit tidak sampai mengeluarkan air. Dari pengalaman di
lapangan, dengan pemasakan bulir pada SRI lebih cepat terjadi sehingga umur
panen lebih cepat dan bulir padi lebih banyak dan lebih padat.
Demonstrasi area
yang dilakukan selama ini membuktikan bahwa SRI mampu memberikan kelebihan
hasil panen seperti :
·
Tinggi tanaman lebih tinggi mulai umur tanaman 60 hari.
·
Jumlah anakan 2 kali lebih banyak sejak umur 40 hari
·
Jumlah anakan produktif meningkat 2 kali.
·
Jumlah bulir permalai lebih banyak
·
Jumlah bulir bernas lebih banyak
·
Berat bulir per 100 butir gabah lebih tinggi
·
Kadar air saat panen lebih rendah
Dengan sejumlah
peningkatan tersebut di atas, sudah pasti SRI memberikan nilai produktivitas
yang jauh lebih tinggi disbanding dengan metode konvensional.
IV.
PEMBAHASAN
SRI berhasil karena menerapkan
konsep sinergi. Dalam
konteks ini, sinergi menunjukkan bahwa semua praktek dalam SRI berinteraksi
secara positif, saling menunjang, sehingga hasil keseluruhan lebih banyak
daripada jumlah masing-masing bagian. Setiap bagian dari SRI bila
dilakukan akan memberikan hasil yang positif, tapi SRI hanya akan berhasil kalau
semua praktek dilaksanakan secara bersamaan.
Praktek SRI memberi dampak pada struktur
tanaman padi yang berbeda. Dalam metode SRI, tanaman padi memiliki
lebih banyak batang, perkembangan akar lebih besar, dan lebih banyak bulir pada
malai. Untuk menghasilkan batang yang kokoh, diperlukan akar yang dapat
berkembang bebas untuk mendukung pertumbuhan batang di atas
tanah. Untuk ini akar membutuhkan kondisi tanah, air, nutrisi,
temperatur dan ruang tumbuh yang optimal. Akar juga memerlukan energi hasil fotosintesis
yang terjadi di batang dan daun yang ada di atas tanah. Sehingga akar dan
batang saling tergantung. Saat kondisi pertumbuhan optimum, ada hubungan
positif antara jumlah batang per tanaman, jumlah batang yang menghasilkan
(malai), dan jumlah bulir gabah per batang.
Tanaman padi dalam model SRI akan tampak
kecil, kurus dan jarang di sawah selama sebulan atau lebih setelah
transplantasi. Dalam bulan pertama, tanaman mulai menumbuhkan
batang. Selama bulan ke-2 pertumbuhan batang mulai terlihat nyata. Dalam bulan
ke-3, petak sawah tampak “meledak” dengan pertumbuhan batang yang sangat cepat.
Untuk memahami hal ini, perlu dimengerti konsep phyllochrons, sebuah konsep yang diaplikasikan pada keluarga
rumput-rumputan, termasuk tanaman biji-bijian seperti padi, gandum, dan
barley.
Phyllochron merupakan
periode waktu antara munculnya satu phytomer (satu set batang,
daun, dan akar yang muncul dari dasar tanaman) dan perkecambahan
selanjutnya. Ukuran phyllochrons ditentukan
terutama oleh temperatur, tapi juga dipengaruhi oleh faktor lainnya seperti
panjang hari, kelembaban, kualitas tanah, kontak dengan air dan cahaya serta
ketersediaan nutrisi.
Bila kondisinya sesuai, phillochrons dalam
padi lamanya lima sampai tujuh hari, meski dapat lebih singkat pada temperatur
lebih tinggi. Di bawah kondisi yang bagus, fase vegetatif tanaman padi dapat
berlangsung selama 12 phyllochrons sebelum tanaman mulai menumbuhkan malai dan
masuk ke fase pembungaan (lihat Tabel 2). Ini mungkin dilakukan
ketika pertumbuhan dipercepat, sehingga banyak phillochrons sudah
tercapai sebelum inisiasi malai.
Sebaliknya, dalam kondisi miskin, phyllochrons berlangsung
lebih lama, dan hanya sedikit yang mampu mencapai fase
pembungaan. Yang perlu diingat : hanya beberapa batang yang tumbuh
dalam fase awal phyllochrons (dan tidak ada sama sekali
selama phillochrons kedua dan ketiga), namun setelah fasephillochrons ketiga
setiap batang akan menghasilkan batang baru dari pangkalnya (dengan tenggang
waktu satu phyllochrons sebelum proses malai). Dalam periode vegetatif
berikutnya, dalam kondisi yang ideal, pertambahan batang tanaman menjadi
berlipat (eksponensial) dan bukan aditif (sesuai dengan hukum Fibonacci dalam
ilmu Biologi). Dalam praktek budidaya lama, periode produksi batang
maksimum tercapai sebelum inisiasi malai, tapi dengan SRI keduanya bisa dicapai
bersamaan.
Inilah mengapa, saat paling baik untuk
transplantasi bibit adalah selama phyllochrons ke-2 atau ke-3, sehingga tidak
ketinggalan fase berlipat (eksponensial) yang mulai pada phyllochrons ke-4. Akar
bibit mengalami trauma saat terkena sinar matahari dan mengering, saat ditanam
di tempat yang tidak ada kontak dengan udara; dan saat bulu akar keluar dari
akar pertama, akan hilang atau rusak jika terlambat ditranspalantasi. Trauma
ini memperlambat pertumbuhan berikutnya, sehingga banyak phyllochrons yang
tidak tercapai sebelum inisiasi malai. Banyak metode transplantasi
(dan waktu) menyebabkan tanaman terhambat tumbuh selama satu atau dua minggu
yang juga menghambat pertumbuhan selanjutnya. Untuk pertumbuhan batang
maksimum, tanaman perlu menyelesaikan sebanyak mungkin phyllochrons selama
fase vegetatif. Bila bibit ditranplantasi pada umur 3 atau 4 minggu, phyllochrons terpenting
saat batang tumbuh tidak akan pernah tercapai.
Bertentangan dengan kebiasaan umum yang
menganggap bahwa banyak batang akan mengurangi jumlah malai dan pembentukan
bulir, dengan SRI, terbukti tidak ada hubungan negatif antara jumlah batang
yang diproduksi dan jumlah bulir diproduksi oleh batang subur. Semua komponen
hasil panen, tumbuhnya batang, pembentukan malai dan pengisian bulir dapat
bertambah di bawah kondisi yang mendukung.
SRI membutuhkan lebih banyak tenaga kerja
per ha daripada metode tradisional. Bila petani tidak terbiasa
mentransplantasi bibit kecil (umur 2 minggu) dalam jarak ruang dan kedalaman
tertentu, proses ini bisa membutuhkan waktu dua kali lebih
lama. Tapi jika para petani sudah merasa nyaman dan menguasai
tekniknya, transplantasi membutuhkan waktu lebih singkat karena jumlah bibit yang
ditanam jauh lebih sedikit.
Dengan SRI, diperlukan lebih banyak waktu
juga untuk mengatur pengairan sawah dibandingkan cara lama. Ini
berarti sistem irigasi perlu diatur secara tepat agar memungkinkan air masuk
dan keluar dari sawah secara teratur. Kebanyakan irigasi tidak
diatur seperti ini (kebanyakan irigasi hanya dibuat untuk menyimpan banyak
air), sehingga perlu dilakukan perbaikan pada petak dan pengairan lebih dulu
sebelum memulai metode SRI.
Pendangiran juga membutuhkan waktu lebih
banyak bila sawah tidak digenangi air terus. Tapi, hasil panen bisa
naik beberapa kali lipat jika aerasi tanah diatur baik dengan alat pendangiran
putar bergerigi. Akhirnya, hasil panen yang lebih mampu menutupi
pengeluaran tambahan untuk tenaga pendangiran.
Awalnya, SRI membutuhkan 50-100% tenaga
kerja (yang terampildan teliti) lebih banyak, tapi lama kelamaan jumlah ini
dapat menurun. Petani SRI yang sudah berpengalaman membutuhkan
tenaga kerja lebih sedikit saat teknik SRI telah dikuasai dan mereka semakin percaya
diri. Dengan hasil panen dua, tiga bahkan empat kali lipat dibanding
metode lama, mampu menutupi ongkos buruh dan lahan yang meningkat.
Beberapa petani masih meragukan manfaat
SRI. SRI tampak seperti mukjijat di awal, tetapi ada alasan ilmiah
untuk menjelaskan setiap bagian prosesnya. Para petani ini perlu
dimotivasi untuk mencobanya di area kecil dahulu, untuk memuaskan rasa ingin
tahu mereka mengenai manfaat dan untuk memperoleh ketrampilan di skala kecil.
Penanaman dan pendangiran merupakan pekerjaan
yang butuh tenaga kerja paling intensif dalam SRI. Banyak petani
kesulitan memperoleh tenaga kerja yang cukup untuk ini, baik dari anggota
keluarga sendiri maupun yang disewa. Jika petani mengalami kendala
ini sebaiknya mereka tidak menanam dan mengelola seluruh lahannya dengan pola
SRI, tetapi cukup mencoba di sebagian lahannya saja, sehingga tidak harus
keluar biaya untuk buruh dan sewa lahan. Lalu, sisa lahan ditanamai
tanaman lain jika telah tersedia tenaga kerja.
V.
KESIMPULAN
Para ilmuwan masih belum yakin, bahkan
banyak yang skeptis, bagaimana mungkin hasil tinggi dapat diperoleh pada tanah
miskin seperti Madagaskar. Untungnya SRI telah terbukti juga sukses diterapkan
di Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri Langka dan Bangladesh. Jadi
jelas bahwa SRI tidak hanya cocok untuk satu neegara.
Memang belum ada evaluasi sistematis oleh
ilmuwan mengenai SRI ini. Tetapi telah ada sedikit penjelasan ilmiah terkait
penerapan SRI sebagai berikut :
1.
Proses Fiksasi Biologis
Nitrogen (Biological Nitrogen Fixation - BNF). Bakteri dan mikroba yang bebas
hidup di sekitar akar padi dapat menguraikan nitrogen yang diperlukan untuk
tanaman. Kehadiran bakteri seperti ini telah tercatat untuk tanaman
tebu, yang termasuk famili rumput-rumputan, seperti padi. Ketika
tanaman tebu tidak diberi pupuk nitrogen (karena pupuk ini dapat memacu
produksi enzim nitrogenase yang diperlukan untuk proses fiksasi nitrogen),
mikroba tanah mampu menyediakan 150-200 kg nitrogen per ha untuk
tebu. Namun, proses penguraian nitrogen justru berkurang pada lahan
yang diberikan pupuk kimia. Diketahui bahwa 80 % bakteri di dalam
dan sekitar akar padi memiliki kemampuan menyediakan nitrogen, tetapi potensi
ini tidak akan menjadi nyata bila penggunaan pupuk nitrogen kimia diteruskan
atau dalam kondisi tanah an-aerobik dan tergenang.
2.
Sebuah penelitian
menyebutkan bahwa tanaman dapat tumbuh baik dalam konsentrasi hara rendah,
selama hara tersebut tersedia berimbang dan konsisten. Kita tahu
bahwa kompos menyediakan hara sedikit demi sedikit tapi konstan.
3.
Tanaman dengan akar yang
bebas menyebar dapat menyerap hara apapun di dalam tanah. Pertumbuhan akar yang
bebas hanya mungkin terjadi pada akar bibit muda yang punya banyak ruang dan
oksigen, bahkan saat air dan nutrisi hanya sedikit tersedia akar dapat
mencarinya sendiri. Akar yang demikian dapat mengekstrak unsur hara yang lebih
seimbang dari tanah, termasuk nutrisi dari unsur mikro yang diperlukan sedikit
tapi penting.
4.
Banyak hal yang perlu
dipelajari dari SRI, dan para ilmuwan mulai tertarik karena hasil panennya yang
berlipat. SRI jangan dilihat sebagai teknologi yang diterapkan
secara mekanis, tapi sebagai metodologi untuk diuji dan diadaptasi sesuai
dengan kondisi para petani. Para petani perlu menjadi peneliti dan
belajar dengan benar untuk memperoleh hasil terbaik dari SRI.
5.
Tranplantasi bibit muda
untuk mempertahankan potensi pertambahan batang dan pertumbuhan akar yang
optimal sebagaimana dibutuhkan oleh tanaman untuk tumbuh dengan baik.
6.
Menanam padi dalam jarak
tanam yang cukup lebar, sehingga mengurangi kompetisi tanaman dalam serumpun
maupun antar rumpun.
7.
Mempertahankan tanah
agar tetap teraerasi dan lembab, tidak tergenang, sehingga akar dapat bernafas,
untuk ini, perlu manajemen air dan pendangiran yang mampu membongkar struktur tanah.